Pak Amad dan Penyamaran Bung Tomo
Sumber : Facebook Serpihan Catatan Ayuhanafiq
Pak Amad, seorang veteran Perang Kemerdekaan yang namanya nyaris tidak terdengar. Hingga kemudian sebuah video pendek yang memuat gambar dirinya sedang diwawancarai tersebar di medsos.
Pihak Koramil Mojosari kemudian mencari keberadaannya karena dalam pengakuannya dia saat ini tinggal di Mojosari.
Pria yang telah berusia 102 tahun itu sebenarnya tinggal di Desa Pesanggrahan Kecamatan Kutorejo, tempat yang berada di selatan Mojosari.
Saya mendengar nama sosok pejuang kelahiran Surabaya itu dari penuturan Pak Lurah Pesanggrahan yang menyebut warganya itu sebagai pelaku sejarah perjuangan.
Saya belum sempat menemuinya secara langsung. Semoga suatu saat bisa menemui pria sepuh tersebut.
Pak Lurah menyebut jika Pak Amad pindah ke Pesanggrahan dari Surabaya kisaran tahun 1980-an.
Saksi sejarah itu biasanya diundang untuk berkisah pengalamannya selama bergerilya ketika ada momen peringatan Kemerdekaan Indonesia.
Meski tidak lagi bisa merunut secara kronologis apa yang dialaminya saat menghadapi penjajah, setidaknya anak muda bisa mendengar langsung tentang beratnya berjuang mempertahankan kemerdekaan.
Keterlibatannya dalam perjuangan dimulai pada saat terjadi peristiwa perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato pada tanggal 19 September 1945.
Dia yang kala itu berusia 20 tahunan terbawa arus massa yang bergerak ke Hotel milik Tuan Sakies yang ada di jalan Tunjungan.
Dia melihat banyak orang yang berkerumun itu berusaha naik ke menara hotel dimana pada puncaknya telah berkibar bendera Belanda, merah-putih-biru.
Menyaksikan itu Pak Amad muda berinisiatif mencari tangga. Setelah dia mendapat sebuah tangga bambu yang lumayan panjang maka dia sorongkan sebagai sarana memanjat ke menara.
Pada akhirnya kita tahu bendera Belanda itu dirobek warna merahnya hingga menjadi merah putih, warna bendera Indonesia.
Pasca insiden bendera itu suasana kota Surabaya menjadi tegang.
Anak-anak muda yang dilanda semangat merdeka mengorganisir diri dalam badan-badan perjuangan, termasuk Pak Amad.
Dia kemudian memilih bergabung dalam kesatuan Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) yang didirikan oleh Bung Tomo.
Tentu pilihan itu jatuh akibat dari kekagumannya pada Bung Tomo, pemuda yang mahir berorasi.
Pak Amad kian akrab dengan tokoh yang berprofesi sebagai wartawan itu.
Saking dekatnya, Pak Amad menyebut dirinya sebagai pengawal pribadi Bung Tomo.
Setelah kota Surabaya jatuh ke tangan musuh para pejuang mundur ke luar kota untuk meneruskan perjuangan.
Pak Amad ikut mengungsi bersama Bung Tomo ke Bangil dan kemudian ke Malang.
Bung Tomo membangun pemancar untuk radio yang dioperasikannya yang diberi nama Radio Pemberontakan.
Lewat gelombang radio itu suara Bung Tomo dengan orasi yang berapi-api membakar semangat perjuangan.
Pekik Allahu Akbar yang dia pakai setelah munculnya Resolusi Jihad NU terus bergema memompa keberanian para pejuang.
Selain di Malang, Bung Tomo juga kerap berada di Mojokerto.
Pak Amad menyebut jika ada juga pemancar radio yang ditempatkan di Mojokerto, mungkin peralatan radio itu milik RRI Surabaya yang diungsikan ke Mojokerto.
Pemancar Radio Pemberontakan milik Bung Tomo ada di daerah Malang.
Diketahui Bung Tomo sempat menggunakan pemancar RRI atas ijin Residen Soedirman yang memang berkantor di Mojokerto.
Akibat dari provokasi lewat radio itulah hingga Pasukan Belanda memburunya.
Bahkan ada sayembara yang dibuat oleh Belanda untuk menemukan Bung Tomo.
Barang siapa bisa menunjukkan dimana Bung Tomo berada maka akan diberi hadiah tanah dan bangunan di atasnya.
Pada suatu hari pesawat terbang Belamda menyebarkan pamflet yang berisi sayembara itu dari udara. Penduduk Mojokerto jadi heboh setelah adanya selebaran tersebut.
Bung Tomo yang didampingi Pak Amad yang saat itu ada di Gempolkerep merasa tidak aman.
Mereka tahu bahwa setelah perang Surabaya mulai banyak orang yang bimbang terhadap kemampuan pemerintah dan juga pasukan Indonesia dalam menghadapi Belanda.
Gerak maju pasukan musuh dengan peralatan perang modern sudah masuk ke Krian dan berpatroli sampai Balongbendo,.. yahh tidak jauh dari Kota Mojokerto.
Setiap saat bisa saja serdadu Belanda itu menerobos pertahanan para pejuang.
Selain itu banyak orang yang rela menjadi mata-mata Belanda demi mendapatkan imbalan uang dan makanan di tengah susahnya hidup di pengungsian.
Mata-mata itulah yang diwaspadai oleh Bung Tomo.
Sebagai komandan tertinggi BPRI, Bung Tomo dilindungi oleh anak buahnya.
BPRI Mojokerto sendiri tergolong kuat walau masih ada di bawah kekuatan Lasjkar Hizbullah dan juga Pasukan Pesindo.
Dan untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, Bung Tomo merencakan kegiatan rahasia. Tidak ada yang dia beritahu, termasuk pada anggota BPRI.
Hanya Pak Amad yang dia ajak menemaninya.
Kegiatan rahasia itu adalah menyingkir dari Mojokerto secara diam-diam. Tujuannya agar Belanda tetap mengira dirinya masih ada di Mojokerto.
Pada suatu hari di penghujung tahun 1946, Bung Tomo menjalankan rencananya.
Berangkat dari Gempolkerep dengan cara menyamar seperti rakyat biasa. Mengenakan pakaian tanpa atribut dan membawa sebuah sarung untuk sholat.
Berdua dengan Pak Amad mereka berjalan kaki ke arah barat.
Jalan yang ditempuh adalah jalan kecil di pinggiran desa agar tidak dikenal orang.
Tempat pertama yang dituju adalah Tapen.
Keduanya beristirahat di surau pinggiran desa. Selain untuk melaksanakan sholat, surau juga jadi pilihan tempat menginap.
Karena tidak membawa uang maka keduanya lebih sering minum dari kendi yang biasanya disediakan oleh penduduk bagi musafir.
Makan hanya didapatkan saat ada orang yang rela memberi makanan.
Perjalanan dari Mojokerto ke Tulungagung jalan kaki itu ditempuh selama tujuh hari.
Tulungagung terhitung daerah yang aman karena jauh dari daerah pertempuran. Bung Tomo menemui seorang ulama bernama Kyai Ashari di desa Karangtemgah kecamatan Ngunut.
Bung Tomo mengenalkan diri sebagai Suoarjan, sedangkan Pak Amad tetap menggunakan nama aslinya.
Kepergian Bung Tomo tanpa pamit itu membuat semua orang cemas, mereka kuatir tokoh pejuang itu ditangkap musuh.
Para anggota BPRI segera menyebar mencari keberadaan pemimpinnya.
Setelah berminggu-minggu mencari informasi didapatkan laporan bila ada orang yang mirip Bung Tomo sedang ada di Tulungagung.
BPRI Mojokerto segera mengirimkan orang untuk memastikan kebenarannya.
Dengan dipimpin oleh Suwardi pasukan kecil BPRI Mojokerto datang ke Karangtengah.
Benar saja bahwa Suoarjan adalah Bung Tomo.
Suwardi pun menceritakan kegelisahan BPRI yang kehilangan pucuk pimpinan.
Bung Tomo pun diminta untuk balik ke Mojokerto yang suasananya sudah mulai stabil dari gangguan mata-mata Belanda.
Dan tidak ada pilihan bagi Bung Tomo untuk tidak meluluskan permintaan anak buahnya tersebut.
Pada bulan Januari 1947, Bung Tomo pamit pada Kyai Ashari yang telah memberi tempat bagi dirinya selama dalam penyamaran.
Tidak lama Bung Tomo ada di Mojokerto yang menjadi pusat perjuangan daerah Surabaya.
Bung Tomo kembali masuk ke wilayah Malang, tetapi tidak dalam penyamaran.
Sepertinya Bung Tomo merasa bahwa musuh akan segera menyerang Mojokerto untuk menangkapnya.
17 Maret 1947
Saat mereka sampai ke rumah dinas Bupati Mojokerto, yang ditanya adalah keberadaan Bung Tomo.
Komandan pasukan yang menemui Bupati Soekamdar sempat marah ketika melihat foto dengan tulisan nama Soetomo.
Mereka mengira Bupati Soekamdar bohong menjawab tidak tahu dimana Bung Tomo. Buktinya ada foto Soetomo di rumah dinasnya.
Bupati Soekandar kemudian menjelaskan bahwa Soetomo yang terpajang itu bukan Soetomo yang dicari Belanda.
Foto Soetomo itu adalah dokter yang mendirikan organisasi Boedi Oetomo yang sudah meninggal dunia.
Bukan Soetomo alias Bung Tomo yang memimpin BPRI buronan Belanda.
Sidowangun, 18 Agustus 2024.